Nama Raja Abad Pertengahan

Sintasnya Kekaisaran Romawi Timur

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan. Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Di Kekaisaran Romawi Timur ini pula hubungan negara dan Gereja menjadi semakin akrab, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.[56] Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis).[57] Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sofia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565)[58] untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.[59] Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.[59]

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Romawi Timur telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Romawi Timur menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim. Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.[60]

Di wilayah timur Kekaisaran Romawi, penyusupan orang Slav secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung dasawarsa 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551. Pada dasawarsa 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kedaulatan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.[61]

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang. Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Romawi Timur, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Romawi Timur berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.[62]

Akhir Abad Pertengahan

Akhir Abad Pertengahan ditandai oleh berbagai musibah dan malapetaka yang meliputi bencana kelaparan, wabah penyakit, dan perang, yang secara signifikan menyusutkan jumlah penduduk Eropa; antara 1347 sampai 1350, wabah Maut Hitam menewaskan sekitar sepertiga dari penduduk Eropa.

Kontroversi, bidah, dan Skisma Barat yang menimpa Gereja Katolik, terjadi bersamaan dengan konflik antarnegara, pertikaian dalam masyarakat, dan pemberontakan-pemberontakan rakyat jelata yang melanda kerajaan-kerajaan di Eropa. Perkembangan budaya dan teknologi mentransformasi masyarakat Eropa, mengakhiri kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, dan mengawali kurun waktu Awal Zaman Modern.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai sejarah singkat Abad Pertengahan di Eropa. Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang bagian dari sejarah Eropa tersebut. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Abad Pertengahan agar dapat mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Sejarah Abad Pertengahan dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 Masehi. Abad Pertengahan bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan masih berlanjut ketika Eropa mulai memasuki Abad Pembaharuan dan Abad Penjelajahan. Sejarah Dunia Barat secara tradisional dibagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Dengan kata lain, Sejarah Abad Pertengahan adalah kurun waktu peralihan dari Abad Kuno ke Zaman Modern. Sejarah Abad Pertengahan masih terbagi lagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan.

Penurunan jumlah penduduk, kontraurbanisasi, invasi, dan perpindahan suku-suku bangsa, yang berlangsung sejak Akhir Abad Kuno, masih berlanjut pada Awal Abad Pertengahan. Perpindahan-perpindahan penduduk berskala besar pada Zaman Migrasi juga mencakup perpindahan suku-suku bangsa Jermanik yang mendirikan kerajaan-kerajaan baru di bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat.

Pada abad ke-7, Afrika Utara dan Timur Tengah—bekas wilayah Kekaisaran Bizantin—dikuasai oleh Khilafah Bani Umayyah, sebuah kekaisaran Islam, setelah ditaklukkan oleh para pengganti Muhammad. Meskipun pada Awal Abad Pertengahan telah terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kemasyarakatan dan politik, pengaruh Abad Kuno belum benar-benar hilang.

Kekaisaran Bizantin yang masih cukup besar tetap sintas di kawasan timur Eropa. Kitab undang-undang Kekaisaran Bizantin, Corpus Iuris Civilis atau “Kitab Undang-Undang Yustinianus”, ditemukan kembali di Italia Utara pada 1070, dan di kemudian hari mengundang decak kagum dari berbagai kalangan sepanjang Sejarah Abad Pertengahan.

Sebagian besar dari kerajaan-kerajaan yang berdiri di kawasan barat Eropa melembagakan segelintir pranata Romawi yang tersisa. Biara-biara didirikan seiring gencarnya usaha mengkristenkan kaum pagan (penganut kepercayaan leluhur di Eropa). Orang Franka di bawah pimpinan raja-raja wangsa Karoling, mendirikan Kekaisaran Karoling pada penghujung abad ke-8 dan permulaan abad ke-9. Meskipun berjaya menguasai sebagian besar daratan Eropa Barat, Kekaisaran Karoling pada akhirnya terpuruk akibat perang-perang saudara di dalam negeri dan invasi-invasi dari luar negeri, yakni serangan orang Viking dari arah utara, serangan orang Magyar dari arah timur, dan serangan orang Sarasen dari arah selatan.

Sengketa dalam Gereja

Pada abad ke-14 yang penuh pergolakan, sengketa kepemimpinan Gereja mengakibatkan lembaga kepausan berpindah ke Avignon sejak 1309 sampai 1376.[295] Kurun waktu keberadaan lembaga kepausan di Avignon ini disebut pula masa "pembuangan Babel lembaga kepausan" (mengacu pada masa pembuangan Babel yang dialami umat Yahudi).[296] Sengketa ini juga menyebabkan terjadinya Skisma Akbar Gereja Barat, yang berlangsung dari 1378 sampai 1418, manakala muncul dua dan kemudian tiga orang paus yang menjabat pada waktu yang bersamaan, masing-masing didukung oleh sejumlah negara.[297] Para wali gereja bersidang dalam Konsili Konstanz pada 1414, dan pada tahun berikutnya memutuskan untuk memakzulkan salah seorang dari ketiga paus. Pemakzulan terus berlanjut dan pada bulan November 1417, para peserta konsili akhirnya memilih Kardinal Oddone Colonna menjadi Paus Martinus V (menjabat 1417–1431).[298]

Selain skisma, Gereja Barat juga mengalami perpecahan akibat kontroversi teologi, beberapa di antaranya berubah menjadi gerakan bidah. Yohanes Wycliffe (wafat 1384), seorang teolog Inggris, dikutuk sebagai ahli bidah pada 1415 karena mengajarkan bahwa umat awam harus diberi keleluasaan untuk membaca sendiri nas-nas Kitab Suci, juga karena pandangannya mengenai Ekaristi bertentangan dengan doktrin Gereja.[299] Ajaran-ajaran Yohanes Wycliffe mempengaruhi dua gerakan bidah besar pada Akhir Abad Pertengahan, yakni bidah Lolardi di Inggris dan bidah Husité di Bohemia.[300] Gerakan bidah di Bohemia dipicu oleh ajaran Yohanes Hus, yang dibakar hidup-hidup pada 1415 setelah dipidana mati sebagai ahli bidah oleh Konsili Konstanz. Meskipun sempat menjadi sasaran penyerbuan dalam Perang Salib, jemaat Husite sanggup bertahan melewati Abad Pertengahan.[301] Bidah-bidah lain hanyalah hasil rekayasa, misalnya dakwaan sebagai ahli bidah terhadap para Kesatria Haikal yang mengakibatkan tarekat mereka dibubarkan pada 1312, dan harta kekayaan mereka yang besar dibagi-bagi di antara Raja Prancis, Philippe IV (memerintah 1285–1314), dan para Kesatria Pramuhusada.[302]

Lembaga kepausan terus memoles dan memperhalus tata cara perayaan Misa pada Akhir Abad Pertengahan, dengan menetapkan bahwa hanya rohaniwan yang boleh meminum anggur Ekaristi. Ketentuan ini semakin memperlebar jarak antara umat awam sekuler dan kaum rohaniwan. Umat awam masih terus mengamalkan kebiasaan berziarah, penghormatan relikui, dan keyakinan akan adanya kekuatan Iblis. Tokoh-tokoh kebatinan seperti Meister Eckhart (wafat 1327) dan Tomas a Kempis (wafat 1471) menghasilkan karya-karya tulis yang berisi taklimat bagi umat awam untuk memusatkan perhatian pada kehidupan rohaninya masing-masing. Karya-karya tulis ini menjadi landasan bagi gerakan Reformasi Protestan. Selain ajaran-ajaran kebatinan, keyakinan akan tukang sihir dan ilmu sihir juga kian meluas. Pada penghujung abad ke-15, Gereja malah turut memperbesar ketakutan masyarakat akan ilmu sihir dengan mengeluarkan pernyataan mengutuk tukang sihir pada 1484, dan pada 1486, menerbitkan Malleus Maleficarum (Penggodam Tukang Sihir), buku panduan populer bagi para pemburu tukang sihir.[303]

Mata Uang Distandarisasi

Ketika Charlemagne menaklukan Eropa Barat, ia menyadari perlunya mata uang yang terstandarisasi. Bukan koin emas, pemerintahannya memiliki mata uang berupa koin perak yang dapat digunakan di seluruh kekaisaran.

Uang ini juga dikenal sebagai mata uang bersama pertama di Eropa sejak era Romawi. Sistemnya membagi satu pon perak murni Carolingian menjadi 240 keping. Bahkan Prancis diketahui mempertahankan versi dasar mata uang ini hingga Revolusi Prancis terjadi.

Awal Abad Pertengahan

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.

Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.

Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.

Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.

Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.

Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.

Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.

Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.

Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.

Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.

Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.

Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.

Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.

Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.

Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.

Penghujung Zaman Kekaisaran Romawi

Luas wilayah Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya pada abad ke-2 Masehi; dalam dua abad berikutnya, Kekaisaran Romawi lambat laun kehilangan kendali atas daerah-daerah di tapal batas wilayahnya.[18] Permasalahan-permasalahan ekonomi, termasuk inflasi, dan tekanan asing di tapal batas wilayah kekaisaran adalah penyebab timbulnya krisis pada abad ke-3. Selama masa krisis ini, kaisar demi kaisar dinobatkan hanya untuk dimakzulkan dengan segera oleh perampas takhta berikutnya.[19] Belanja militer terus meningkat sepanjang abad ke-3, terutama untuk membiayai perang melawan Kekaisaran Sasani yang kembali berkobar pada pertengahan abad ke-3.[20] Bala tentara dilipatgandakan, dan pasukan aswasada serta satuan-satuan ketentaraan yang lebih kecil mengambil alih fungsi legiun Romawi sebagai satuan taktis utama.[21] Kebutuhan akan pendapatan mengakibatkan kenaikan pajak dan penurunan jumlah curialis, atau golongan tuan-tuan tanah, serta penurunan jumlah tuan-tuan tanah yang bersedia memikul beban selaku pejabat di kota asalnya.[20] Meningkatnya kebutuhan akan tenaga birokrat dalam administrasi pemerintah pusat untuk menangani kebutuhan-kebutuhan tentara mengakibatkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat bahwasanya jumlah pemungut pajak di dalam wilayah kekaisaran lebih besar daripada jumlah pembayar pajak.[21]

Pada 286, Kaisar Dioklesianus (memerintah 284–305) membagi wilayah kekaisaran menjadi wilayah timur dan wilayah barat, masing-masing dengan administrasi pemerintahan sendiri; Kekaisaran Romawi tidak dianggap telah terbagi dua, baik oleh rakyat maupun penguasanya, karena keputusan-keputusan hukum dan administrasi yang dikeluarkan oleh salah satu wilayah juga dianggap sah oleh wilayah yang lain.[22][C] Pada 330, setelah masa perang saudara berakhir, Konstantinus Agung (memerintah 306–337) membangun kembali kota Bizantium sebagai ibu kota wilayah timur yang baru, dan menamainya Konstantinopel.[23] Upaya-upaya pembaharuan yang dilakukan Kaisar Dioklesianus berhasil memperkukuh birokrasi pemerintahan, menata ulang sistem perpajakan, dan memperkuat angkatan bersenjata. Langkah ini berhasil menyelamatkan kekaisaran tetapi tidak menuntaskan masalah-masalah yang dihadapinya, antara lain pajak yang terlampau tinggi, penurunan angka kelahiran, dan rongrongan bangsa-bangsa asing di tapal batas wilayah.[24] Perang saudara antarkaisar menjadi hal yang lumrah pada pertengahan abad ke-4. Perang-perang saudara ini menguras kekuatan angkatan bersenjata yang menjaga tapal batas wilayah sehingga memudahkan para bangsa-bangsa asing menerobos masuk ke dalam wilayah kekaisaran.[25] Hampir sepanjang abad ke-4, masyarakat Romawi menjadi terbiasa hidup dalam suatu tatanan baru yang berbeda dari tatanan kemasyarakatan Romawi pada Abad Kuno, dengan melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, serta meredupnya gairah hidup kota-kota kecil.[26] Perkembangan baru lainnya adalah penyebaran Kristen, atau peralihan keyakinan warga kekaisaran ke agama Kristen, suatu proses yang berjalan sedikit demi sedikit sejak abad ke-2 sampai abad ke-5.[27][28]

Pada 376, orang Goth yang sedang meluputkan diri dari kejaran orang Hun, mendapatkan izin dari Kaisar Valens (memerintah 364–378) untuk menetap di Provinsi Trakia (bahasa Latin: Provincia Thracia), wilayah Kekaisaran Romawi di Jazirah Balkan. Proses pemasyarakatan orang Goth di Provinsi Trakia tidak berjalan mulus, dan manakala para pejabat Romawi mengambil tindakan yang keliru, orang-orang Goth mulai melancarkan aksi-aksi penyerbuan dan penjarahan.[D] Kaisar Valens, yang berusaha meredakan kekacauan, gugur dalam Pertempuran Adrianopel melawan orang Goth pada 9 Agustus 378.[30] Selain ancaman-ancaman dari konfederasi-konfederasi kesukuan semacam itu yang mendesak dari utara, Kekaisaran Romawi juga harus menghadapi masalah-masalah yang diakibatkan oleh perpecahan di dalam negeri, khususnya perpecahan di kalangan umat Kristen.[31] Pada 400, orang Visigoth menginvasi Kekaisaran Romawi Barat, dan meskipun sempat terpukul mundur dari Italia, akhirnya berhasil menduduki dan menjarah kota Roma pada 410.[32] Pada 406, orang Alan, orang Vandal, dan orang Suevi memasuki Galia; selama tiga tahun berikutnya mereka menyebar ke seluruh pelosok Galia, melintasi Pegunungan Pirenia, dan masuk ke wilayah yang kini menjadi negeri Spanyol pada 409.[33] Zaman Migrasi bermula ketika berbagai suku bangsa, mula-mula sebagian besar adalah suku-suku Jermanik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Eropa. Orang Franka, orang Alemani, dan orang Burgundi pindah dan bermukim di kawasan utara Galia; orang Angli, orang Saksen, dan orang Yuti menetap di Britania;[34] sementara orang Vandal menyeberangi Selat Gibraltar dan mendaulat Provinsi Afrika (bahasa Latin: Provincia Africa).[35] Pada dasawarsa 430-an, orang Hun mulai menginvasi Kekaisaran Romawi; Raja orang Hun, Attila (memerintah 434–453), memimpin invasi-invasi ke Jazirah Balkan pada 442 dan 447, ke Galia pada 451, dan ke Italia pada 452.[36] Ancaman orang Hun terus membayang-bayangi Kekaisaran Romawi sampai konfederasi suku-suku Hun pecah kongsi sepeninggal Attila wafat pada 453.[37] Invasi-invasi yang dilancarkan suku-suku asing ini sepenuhnya merombak tatanan politik dan kemasyarakatan di Kekaisaran Romawi Barat pada masa itu.[34]

Menjelang akhir abad ke-5, wilayah barat Kekaisaran Romawi sudah terpecah menjadi banyak negara kecil, masing-masing dikuasai oleh suku yang menginvasinya pada permulaan abad itu.[38] Pemakzulan kaisar wilayah barat yang terakhir, Romulus Agustulus, pada 476 sudah lama dijadikan tonggak sejarah yang menandai tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi Barat.[11][E] Pada 493, Jazirah Italia ditaklukkan oleh orang Ostrogoth.[39] Kekaisaran Romawi Timur, yang kerap disebut Kekaisaran Romawi Timur setelah tumbangnya pemerintah wilayah barat, tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan kembali kedaulatannya atas daerah-daerah wilayah barat yang sudah lepas dari genggamannya. Para Kaisar Romawi Timur tetap mendaku sebagai penguasa atas daerah-daerah itu, tetapi kendati tak seorang pun dari raja-raja baru di wilayah barat berani meninggikan diri menjadi kaisar wilayah barat, kendali Romawi Timur atas sebagian besar wilayah barat Kekaisaran Romawi tidak dapat dipertahankan; penaklukan kembali daerah-daerah di sepanjang pesisir Laut Tengah dan di Jazirah Italia (Perang Goth) pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565) adalah satu-satunya pengecualian, meskipun tidak bertahan lama.[40]

Musik Religi Berkembang

Charlemagne dikenal sebagai pendukung keras agama Kristen, sehingga ia menyukai musik gereja khususnya musik liturgi Roma. Pada tahun 774 M, ia meminta Paus Hadrian I mengirim biarawan dari Roma ke istana Aachen untuk mengajar paduan suara.

Peristiwa ini memicu penyebaran musik tradisional Gregorian ke seluruh gereja-gereja kaum Franka. pada tahun 789 M, Charlemagne juga mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pendeta kekaisarannya untuk mempelajari dan bernyanyi dengan benar nyanyian Romawi.

Pada masa ini juga, sekolah musik didirakan dan para biarawan diberi tugas menyalin musik dan membantu melestarikan nyanyian Gregorian hingga saat ini.

Arsitektur, seni rupa, dan seni musik

Pada abad ke-10, pembangunan gedung-gedung gereja dan biara mendorong munculnya arsitektur bangunan batu yang merupakan hasil pengembangan lebih lanjut terhadap bentuk-bentuk bangunan batu ala Romawi, sehingga dinamakan langgam arsitektur "Romanik". Jika kebetulan ada, gedung-gedung bata dan batu peninggalan Romawi dibongkar agar material bangunannya dapat digunakan kembali dalam pembangunan gedung-gedung baru. Bermula dari tahap coba-coba permulaan yang dikenal dengan sebutan Romanik Perdana, langgam arsitektur berkembang dan menyebar ke seluruh Eropa dalam bentuk yang seragam. Tepat sebelum tahun 1000, terjadi gelombang besar pembangunan gedung-gedung gereja batu di seluruh Eropa.[239] Gedung-gedung berlanggam Romanik memiliki dinding yang tersusun dari batu-batu berukuran raksasa, lubang-lubang pintu dan jendela dengan ambang yang melengkung membentuk setengah lingkaran, tingkap-tingkap berukuran kecil, dan (khususnya di Prancis) lengkungan langit-langit dari susunan batu.[240] Pintu-pintu masuk berukuran besar berbingkai pahatan relief tinggi yang diwarnai menjadi salah satu tampilan utama pada muka bangunan (façade), teristimewa di Prancis. Ganja-ganja tiangnya sering kali dihiasi ukiran monster-monster dan satwa-satwa khayali.[241] Menurut sejarawan seni rupa, C. R. Dodwell, "nyaris semua gedung gereja di Dunia Barat dihiasi dengan lukisan-lukisan dinding", hanya sedikit di antaranya yang masih ada sampai sekarang.[242] Bersamaan dengan perkembangan di bidang arsitektur gedung gereja, bentuk bangunan puri yang khas Eropa juga dikembangkan, dan menjadi sangat penting artinya bagi percaturan politik dan peperangan.[243]

Seni rupa langgam Romanik, khususnya di bidang kriya logam, mencapai tahap kecanggihan tertingginya dalam seni rupa langgam Maas, yang memunculkan seniman-seniman dengan ciri khas tersendiri, antara lain Nikolaus dari Verdun (wafat 1205), dan menghasilkan karya-karya seni yang nyaris tampak berlanggam klasik seperti bejana baptis di Liège,[244] jauh berbeda dari sosok-sosok hewan menggeliat pada Kandil Gloucester yang juga dibuat pada kurun waktu yang sama. Alkitab dan buku Mazmur beriluminasi berukuran besar adalah naskah-naskah mewah yang lazim dibuat kala itu, dan lukisan dinding menyemarakkan gedung-gedung gereja, sering kali mengikuti kaidah yang menempatkan lukisan bertema Penghakiman Akhir pada dinding barat, Maiestas Domini pada dinding timur, dan penggambaran kisah-kisah Alkitab di sepanjang dinding pada kedua sisi panti umat, atau pada lengkungan langit-langit memanjang seperti di Saint-Savin-sur-Gartempe, yang merupakan contoh terindah dari lukisan pada lengkungan langit-langit bangunan yang masih lestari hingga sekarang.[245]

Semenjak permulaan abad ke-12, tukang-tukang bangunan Prancis mengembangkan langgam Gothik, yang bercirikan pemakaian lengkungan langit-langit berusuk, pelengkung yang mengerucut, penopang-penopang layang, dan jendela-jendela kaca patri berukuran besar. Langgam ini lebih banyak digunakan dalam pembangunan gedung-gedung gereja dan gereja katedral, serta terus-menerus digunakan sampai dengan abad ke-16 di banyak tempat di Eropa. Contoh-contoh klasik dari arsitektur berlanggam Gothik antara lain adalah gedung gereja katedral Chartres dan gedung gereja katedral Reims di Prancis, serta gedung gereja katedral Salisbury di Inggris.[246] Kaca patri menjadi unsur penting dalam rancang bangun gedung gereja, yang masih terus menggunakan lukisan-lukisan dinding, tetapi dewasa ini hampir semuanya sudah musnah.[247]

Pada kurun waktu ini, kegiatan pembuatan naskah beriluminasi beralih dari biara-biara ke sanggar-sanggar milik umat awam, sampai-sampai menurut Janetta Benton "pada tahun 1300, kebanyakan rahib membeli buku di toko-toko".[248] Pada kurun waktu ini pula buku ibadat harian dikembangkan menjadi buku panduan beribadat bagi umat awam. Kriya logam masih tetap menjadi wujud karya seni yang paling bergengsi, dan email Limoges menjadi bahan dengan harga yang relatif terjangkau dan banyak sekali dipakai dalam pembuatan benda-benda seperti relikuarium dan salib..[249] Di Italia, inovasi-inovasi Cimabue dan Duccio di Buoninsegna, dan kemudian hari juga inovasi-inovasi dari maestro era Trecento, Giotto di Bondone (wafat 1337), kian mempercanggih dan mengentaskan lukisan panel dan fresko.[250] Meningkatnya kemakmuran pada abad ke-12 mendorong peningkatan produksi karya-karya seni rupa sekuler; banyak barang ukiran gading seperti peranti permainan (buah catur, dadu, dan sebagainya), sisir-sisir, dan patung-patung keagamaan berukuran kecil masih terlestarikan sampai sekarang.[251]

Reformasi biara menjadi isu penting pada abad ke-11, manakala para penguasa mulai khawatir kalau-kalau para rahib tidak mengamalkan aturan-aturan yang mewajibkan mereka untuk semata-mata menekuni kehidupan zuhud. Biara Cluny yang dibangun di daerah Mâcon, Prancis, pada tahun 909, adalah pelopor gerakan Reformasi Cluny, yakni gerakan reformasi biara berskala besar yang muncul sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran kalangan penguasa.[253] Biara Cluny dengan segera tersohor sebagai biara yang sangat bersahaja dan sangat ketat dalam menjalankan tata tertib. Biara ini berusaha menjaga mutu kehidupan rohani yang tinggi dengan berlindung kepada lembaga kepausan, dan dengan memilih sendiri kepala biaranya tanpa campur tangan umat awam, sehingga dapat terus mandiri secara ekonomi maupun politik, terhindar dari campur tangan tuan-tuan besar setempat.[254]

Reformasi biara mengilhami usaha-usaha pembaharuan Gereja di luar lingkungan biara. Cita-cita luhur yang melandasi gerakan reformasi biara dibawa ke tataran lembaga kepausan oleh Paus Leo IX (menjabat 1049–1054), dan menjadi sumber ideologi kemandirian kaum rohaniwan yang berujung pada Kontroversi Investitur pada akhir abad ke-11. Kontroversi ini melibatkan Paus Gregorius VII (menjabat 1073–1085) dan Kaisar Heinrich IV, yang mula-mula mempersengketakan kewenangan mengangkat uskup. Sengketa ini berubah menjadi pertarungan gagasan terkait investitur (pengangkatan), pernikahan kaum rohaniwan, dan simoni. Kaisar menganggap urusan melindungi Gereja sudah menjadi tanggung jawabnya, dan hendak mempertahankan haknya untuk memilih sendiri uskup-uskup yang menjabat di dalam wilayah kedaulatannya, sementara lembaga kepausan dengan gigih memperjuangkan kebebasan Gereja dari campur tangan penguasa sekuler. Isu-isu ini tidak kunjung tuntas meskipun telah dicapai kompromi pada tahun 1122 yang dikenal dengan sebutan Konkordat Worms. Sengketa ini merupakan salah satu tahap penting dalam pembentukan monarki kepausan yang terpisah sekaligus setara dengan pemerintahan-pemerintahan awam. Sengketa ini juga meninggalkan dampak permanen, yakni kian kukuhnya kekuasaan para kepala swapraja Jerman sehingga merugikan kaisar-kaisar Jerman.[253]

Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya gerakan-gerakan agamawi berskala besar. Selain ikut serta dalam Perang Salib dan gerakan reformasi biara, orang juga berusaha mencari bentuk-bentuk amalan zuhud yang baru. Tarekat-tarekat baru didirikan, antara lain tarekat Sistersien dan tarekat Kartusian. Tarekat Sistersien menyebar dengan pesat pada tahun-tahun permulaan keberadaannya di bawah bimbingan Bernardus dari Clairvaux (wafat 1153). Tarekat-tarekat baru ini didirikan untuk menanggapi pandangan umat awam yang merasa cara hidup zuhud ala Benediktin tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan umat awam. Sebagaimana orang-orang yang hendak menjalani hidup zuhud, umat awam juga ingin kembali pada cara hidup zuhud eremitis (cara hidup pertapa) yang diamalkan dalam Gereja Perdana, atau mengamalkan cara hidup para rasul.[211] Kegiatan ziarah juga digairahkan. Tempat-tempat ziarah lama seperti Roma, Yerusalem, dan Compostela mengalami lonjakan peziarah, dan tempat-tempat ziarah baru seperti Monte Gargano dan Bari kian dikenal orang.[255]

Pada abad ke-13, tarekat-tarekat fakir—Fransiskan dan Dominikan—yang mengikrarkan kaul kemiskinan dan menafkahi diri mereka dengan cara mengemis, mendapatkan persetujuan dari lembaga kepausan.[256] Kelompok-kelompok keagamaan seperti kaum Waldenses dan kaum Humiliati juga berusaha mengamalkan kembali cara hidup umat Kristen perdana pada pertengahan abad ke-12 dan permulaan abad ke-13, tetapi dikecam sebagai gerakan bidat oleh lembaga kepausan. Kelompok-kelompok keagamaan lainnya bergabung dengan kaum Katari, gerakan bidah lain yang juga dikecam oleh lembaga kepausan. Pada 1209, sebuah Perang Salib dimaklumkan terhadap kaum Katari, yakni Perang Salib Albigensian. Perang Salib ini digabungkan dengan inkuisisi Abad Pertengahan, dan berhasil memberantas kaum Katari.[257]

Prasangka-prasangka modern

Abad Pertengahan kerap diolok-olok sebagai "zaman kebodohan dan takhayul" manakala "fatwa pemuka agama lebih dihargai daripada pengalaman dan penalaran pribadi."[327] Olok-olok semacam ini berasal dari Abad Pembaharuan dan Abad Pencerahan, manakala para ilmuwan membanding-bandingkan budaya keilmuan mereka dengan budaya keilmuan Abad Pertengahan. Para ilmuwan Abad Pembaharuan menganggap Abad Pertengahan adalah kurun waktu kemerosotan dari budaya dan peradaban tinggi dunia klasik; sementara para ilmuwan Abad Pencerahan menganggap akal budi lebih unggul daripada iman, dan oleh karena itu menganggap Abad Pertengahan sebagai zaman kebodohan dan takhayul.[13]

Sementara pihak justru beranggapan bahwa pada umumnya akal budi sangat dijunjung tinggi pada Abad Pertengahan. Sejarawan ilmu pengetahuan, Edward Grant, pernah mengemukakan dalam tulisannya bahwa "kemunculan gagasan-gagasan rasional yang revolusioner pada Abad Pencerahan hanya mungkin terjadi jika pada Abad Pertengahan sudah ada tradisi panjang yang menjadikan pemberdayaan akal budi sebagai salah satu aktivitas manusia yang terpenting".[328] Selain itu David Lindberg pernah menulis bahwa, bertentangan dengan anggapan umum, "ilmuwan Akhir Abad Pertengahan jarang sekali mendapatkan ancaman dari Gereja dan tentunya merasa leluasa (khususnya di bidang ilmu pengetahuan alam) untuk menuruti akal budi dan hasil pengamatan ke arah mana pun ia dituntun".[329]

Olok-olok terhadap Abad Pertengahan juga terungkap dalam beberapa prasangka tertentu. Salah satu kesalahpahaman mengenai Abad Pertengahan, yang pertama kali digembar-gemborkan pada abad ke-19[330] dan masih lazim dijumpai sekarang ini, adalah prasangka bahwa semua orang pada Abad Pertengahan yakin Bumi itu datar.[330] Prasangka ini keliru, karena para dosen di universitas-universitas Abad Pertengahan pada umumnya berpendapat bahwa bukti-bukti menunjukkan Bumi itu bulat.[331] Ilmuwan-ilmuwan lain dari abad ke-19, Lindberg dan Ronald Numbers, mengemukakan bahwa "nyaris tidak ada ilmuwan Kristen pada Abad Pertengahan yang tidak mengakui Bumi itu bulat, mereka bahkan sudah menghitung perkiraan panjang keliling Bumi".[332] Kesalahpahaman-kesalahpahaman lain seperti "Gereja melarang otopsi dan bedah jenazah pada Abad Pertengahan", "pertumbuhan agama Kristen mematikan ilmu pengetahuan kuno", atau "Gereja pada Abad Pertengahan menghambat perkembangan filsafat alam", semuanya dikutip oleh Ronald Numbers sebagai contoh dari mitos-mitos yang tersebar luas dan masih saja dianggap sebagai kebenaran sejarah, sekalipun tidak didukung oleh kajian sejarah mutakhir.[333]

Abad Pertengahan – Istilah Abad Pertengahan digunakan untuk membantu di dalam menjelaskan dua zaman lain, yaitu zaman kuno dan zaman modern. Abad Pertengahan adalah suatu periodesasi dalam sejarah yang mendeskripsikan tentang Eropa dalam periode antara jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M hingga dimulainya era Renaissance (Abad Pembaharuan) pada abad ke-16. Tidak begitu jelas penarikan dimulainya Abad Pertengahan di Eropa ini. Beberapa sejarawan merujuk waktu terjadinya Abad Pertengahan ini dimulai pada kembali berkuasanya gereja dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini terjadi sejak pemahkotaan Karel Agung oleh Paus Leo III sebagai kaisar pada tahun 800 M.

Abad Pertengahan juga dianggap sebagai sebuah periode yang panjang dalam sejarah Eropa ketika nyaris tidak mengalami perkembangan apa-apa. Bahkan dalam periode ini Eropa justru dapat dikatakan mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) sehingga masa ini juga disebut dengan zaman kegelapan.

Perlu dipahami bahwa jika dibandingkan dengan zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno, manusia telah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang kebudayaan, baik dalam bidang seni arsitektur, sastra, filsafat, politik dan kenegaraan. Sedangkan pada Abad Pertengahan, itu tidak terjadi lagi karena disebabkan oleh Odoacer yang barbar dan dominannya pengaruh gereja Katolik dalam kehidupan bangsa Eropa.

Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M ditandai dengan menyerahnya Romulus Augustus ke tangan Odoacer dari bangsa Germanik, hal ini mengakibatkan kebudayaan Yunani Kuno dan Romawi Kuno tidak berkembang karena suku bangsa Germanik tidak begitu menaruh minat dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 800 M, kondisi politik Eropa mulai mengalami perubahan. Gereja Katolik mulai tampil sebagai penguasa yang dominan, baik dalam kehidupan politik maupun keagamaan. Pada tahun itu pula, Paus Leo III memahkotai Charlemagne (Karel Agung) sebagai kaisar. Di bawah Karel Agung pula, Eropa disatukan di bawah satu kekaisaran besar yang disebut dengan Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire).

Selain mengemban tugas politik, Kaisar Romawi Suci juga memiliki tugas misi keagamaan, yaitu melindungi agama Katolik dan menjamin penyebarannya ke seluruh Eropa. Di dalam konteks itu, setiap kaisar harus taat pada keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Paus. Setiap kaisar di dalam lingkup Kekaisaran Romawi Suci tidak sah menjadi kaisar jika tidak mendapatkan persetujuan dan pemahkotaan oleh Paus.

Potensi yang dimiliki oleh orang-orang pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno yang umumnya terekspresikan melalui karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan terhenti selama Abad Pertengahan. Pada masa ini, ketaatan kepada wahyu Tuhan melalui kitab suci jauh lebih penting daripada mengejar keinginan-keinginan dan ambisi yang bersifat duniawi.

Mengejar surga atau akhirat jauh lebih penting daripada mewujudkan secara maksimal potensi diri setiap individu lewat kebahagiaan dan kesejahteraannya di dunia. Manusia dianggap hanya sekedar peziarah dunia (viat mundi). Seluruh perhatian dan kegiatan gereja diarahkan hanya untuk kepentingan akhirat. Kekuasaan gereja Abad Pertengahan yang begitu kuat, sehingga sikap taat kepada gereja yang ditunjukkan masyarakat kepada para pejabat gereja lainnya, diidentikkan dengan ketaatan kepada Tuhan.

Dengan kekuasaan besar seperti itu, sangatlah mudah bagi para pemimpin gereja berkesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengatasnamakan firman Tuhan atau kehendak Tuhan. Paus dalam hal ini juga selain sebagai pemimpin agama, merangkap pula sebagai pemimpin politik serta penguasa atas raja-raja di Eropa.

Abad Pertengahan merupakan masa di mana kekuasaan gereja banyak diwarnai oleh tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran moral, terutama hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin gereja.

Masyarakat dan perekonomian

Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu terjadinya lonjakan populasi secara besar-besaran. Populasi Eropa diperkirakan melonjak dari 35 juta jiwa menjadi 80 juta jiwa antara tahun 1000 dan 1347. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, diduga lonjakan populasi ini disebabkan oleh semakin baiknya tata cara bercocok tanam, berkurangnya perbudakan, iklim yang lebih baik, maupun ketiadaan invasi.[156][157] Sebanyak-banyaknya 90% populasi Eropa masih terdiri atas kaum tani yang bermukim di desa-desa. Banyak di antaranya tidak lagi mendiami lahan-lahan terpencil, tetapi sudah hidup bersama-sama dalam komunitas-komunitas kecil yang disebut desa atau tanah lungguh.[157] Kaum tani sering kali menjadi kawula kaum ningrat pemilik tanah lungguh (bahasa Inggris: manor), dan membayar sewa lahan atau memberikan berbagai macam bentuk pelayanan kepada majikan-majikan ningrat mereka. Tatanan semacam ini disebut manorialisme. Meskipun demikian, masih ada segelintir petani merdeka (bukan kawula tuan tanah) pada kurun waktu ini maupun sesudahnya.[158] Petani-petani merdeka semacam ini lebih banyak terdapat di kawasan selatan daripada di kawasan utara Eropa. Praktik babad atau meneroka lahan baru untuk digarap dengan cara menawarkan insentif kepada petani yang bersedia menempatinya, juga turut berdampak pada lonjakan populasi.[159]

Sistem pertanian lahan terbuka lumrah dipraktikkan di hampir seluruh Eropa, teristimewa di "kawasan barat laut dan kawasan tengah Eropa."[160] Komunitas-komunitas tani lahan terbuka memiliki tiga ciri utama, yakni lahan-lahan garapan perseorangan dalam bentuk petak-petak lahan yang tersebar di berbagai pelosok tanah lungguh, rotasi jenis tanaman dari tahun ke tahun untuk menjaga kesuburan tanah, dan lahan bersama yang dimanfaatkan sebagai tempat melepas ternak atau untuk keperluan lain.[161]

Golongan-golongan lain dalam masyarakat adalah kaum ningrat, rohaniwan, dan warga kota. Kaum ningrat, baik bangsawan penyandang gelar maupun kesatria berkuda biasa, menafkahi dirinya dari hasil pemanfaatan tanah lungguh dan pengaryaan rakyat tani, meskipun mereka tidak memiliki lahan sendiri dan hanya dianugerahi hak untuk menikmati hasil pemanfaatan tanah lungguh atau tanah-tanah lain oleh bangsawan majikan mereka. Tatanan semacam ini disebut feodalisme. Pada abad ke-11 dan ke-12, tanah-tanah atau feodum ini mulai dianggap sebagai tanah pusaka keluarga, dan di banyak tempat sudah tidak ada lagi kebiasaan membagi-bagikan tanah kepada seluruh ahli waris sebagaimana yang terjadi pada kurun waktu Awal Abad Pertengahan. Kebanyakan feodum dan tanah justru diwariskan seluruhnya kepada putra tertua pewaris.[162][Q] Keistimewaan-keistimewaan kaum ningrat adalah menguasai tanah, menunaikan kewajiban bela negara dengan menjadi prajurit aswasada berperlengkapan berat, menguasai puri, dan dikecualikan dari kewajiban membayar pajak atau kewajiban-kewajiban lain.[R] Puri-puri, yang mula-mula terbuat dari kayu tetapi kemudian hari dibangun dari batu, mulai didirikan pada abad ke-9 dan ke-10 sebagai ikhtiar menghadapi suasana kalut ketika itu, sebagai tempat berlindung dari invasi, dan sebagai tempat para bangsawan mempertahankan diri dari saingan-saingan mereka. Penguasaan puri memungkinkan para bangsawan untuk menentang raja-raja atau bangsawan-bangsawan majikan mereka.[164] Kaum ningrat digolong-golongkan ke dalam beberapa tingkatan; raja-raja dan bangsawan-bangsawan dari golongan tertinggi berkuasa atas sejumlah besar rakyat jelata, memiliki berbidang-bidang tanah yang luas, dan membawahi bangsawan-bangsawan lain. Di bawah raja-raja dan bangsawan-bangsawan golongan tertinggi ini terdapat bangsawan-bangsawan dari golongan rendah yang berkuasa atas rayat jelata dalam jumlah yang lebih sedikit, dan memiliki bidang-bidang tanah dengan luas yang lebih terbatas. Golongan kesatria berkuda adalah golongan ningrat yang paling bawah; mereka diberi kekuasaan atas bidang-bidang tanah tertentu tetapi bukan sebagai pemiliknya, dan harus pula mengabdi kepada bangsawan-bangsawan lain.[165][S]

Kaum rohaniwan dibedakan menjadi dua macam rohaniwan, yakni rohaniwan sekuler yang hidup di tengah-tengah masyarakat, serta rohaniwan reguler yang hidup menurut regula (tata tertib agamawi) dan lazimnya berstatus biarawan.[167] Sepanjang kurun waktu ini, para biarawan merupakan golongan terkecil dalam masyarakat, biasanya di bawah 1% dari keseluruhan populasi.[168] Sebagian besar rohaniwan reguler berasal dari kalangan ningrat, yakni kalangan yang juga menjadi lahan perekrutan rohaniwan sekuler berpangkat tinggi. Para imam paroki setempat sering kali berasal dari kalangan rakyat tani.[169] Warga kota menempati posisi yang kurang lazim karena mereka tidak termasuk dalam tiga golongan masyarakat tradisional, yakni kaum ningrat, kaum rohaniwan, dan kaum tani. Pada abad ke-12 dan ke-13, jumlah kalangan ini semakin meningkat seiring membesarnya kota-kota lama dan terbentuknya pusat-pusat populasi yang baru.[170] Meskipun demikian, jumlah warga kota sepanjang Abad Pertengahan mungkin tak pernah melampaui 10% dari keseluruhan populasi.[171]

Orang Yahudi juga menyebar ke seluruh Eropa pada Puncak Abad Pertengahan. Paguyuban-paguyuban umat Yahudi dibentuk di Jerman dan Inggris pada abad ke-11 dan ke-12, tetapi umat Yahudi Spanyol, yang sudah lama menetap di Spanyol semenjak masa pemerintahan kaum Muslim, semakin lama semakin ditekan agar beralih keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen setelah Spanyol diperintah oleh penguasa Kristen.[76] Sebagian besar orang Yahudi terpaksa bermukim di kota-kota, karena mereka tidak dibenarkan memiliki lahan maupun menjadi petani.[172][T] Selain orang Yahudi, ada pula masyarakat-masyarakat non-Kristen lain di kawasan pinggiran Eropa, yakni suku bangsa Slav pagan di kawasan timur Eropa, dan kaum Muslim di kawasan selatan Eropa.[173]

Kaum perempuan pada Abad Pertengahan secara resmi diwajibkan tunduk pada perwalian kaum lelaki, entah ayah, suami, atau kerabat lelaki mereka yang lain. Para janda, yang sering kali diberi lebih banyak keleluasaan untuk mengatur hidupnya sendiri, tetap saja dibatasi secara hukum. Pekerjaan kaum perempuan pada umumnya adalah mengurus rumah tangga atau mengerjakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan rumah tangga. Perempuan-perempuan kaum tani biasanya bertanggung jawab merawat rumah, mengasuh anak, serta berkebun dan beternak di sekitar rumah. Mereka dapat pula mencari penghasilan tambahan bagi rumah tangganya dengan memintal benang atau menggodok bir di rumah. Pada masa panen, mereka juga diharapkan turut bekerja di ladang.[174] Perempuan-perempuan warga kota, sebagaimana perempuan-perempuan kaum tani, bertanggung jawab merawat rumah, dan juga menggeluti dunia usaha. Jenis-jenis usaha yang terbuka bagi kaum perempuan berbeda-beda dari negeri ke negeri dan dari masa ke masa.[175] Perempuan-perempuan ningrat bertanggung jawab mengelola rumah tangga, dan adakalanya juga diharapkan mengelola tanah lungguh bilamana tidak ada kerabat laki-laki, tetapi biasanya tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan ketentaraan dan pemerintahan. Satu-satunya peran yang terbuka bagi kaum perempuan di lingkungan Gereja adalah menjadi biarawati, karena mereka tidak mungkin menjadi imam.[174]

Di kawasan tengah dan utara Italia juga di Flandria, pertumbuhan kota-kota sampai ke taraf swatantra merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan terbentuknya perhimpunan-perhimpunan usaha jenis baru. Kota-kota niaga di pesisir Laut Baltik membentuk persekutuan yang dikenal dengan sebutan Liga Hansa, dan republik-republik bahari di Italia seperti Venesia, Genova, dan Pisa melebarkan jaringan usaha mereka ke seluruh kawasan Laut Tengah.[U] Pekan-pekan raya dunia usaha diselenggarakan dan berkembang pesat di kawasan utara Prancis kala itu, sehingga memungkinkan saudagar-saudagar Italia dan Jerman maupun saudagar-saudagar setempat untuk menjalin hubungan usaha.[177] Pada penghujung abad ke-13, jalur-jalur darat maupun laut yang baru menuju Timur Jauh mulai dirintis, sebagaimana yang dijabarkan dalam Kisah Perjalanan Marco Polo, karya tulis seorang usahawan yang bernama Marco Polo (wafat 1324).[178] Selain terbukanya peluang-peluang usaha yang baru, perbaikan tata cara bercocok tanam dan teknologi memungkinkan peningkatan hasil panen, sehingga membuka peluang bagi perluasan jaringan perniagaan.[179] Maraknya perniagaan memunculkan metode-metode baru dalam mengelola uang, dan uang-uang emas kembali dicetak di Eropa, mula-mula di Italia, dan kemudian juga di Prancis serta negara-negara lain. Muncul bentuk-bentuk perjanjian dagang baru yang memungkinkan risiko kerugian ditanggung bersama-sama oleh semua saudagar yang terlibat. Metode-metode akuntansi semakin membaik, sebagian berkat penerapan pembukuan berpasangan; muncul pula surat-surat kredit yang memudahkan perpindahan uang.[180]